search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Soal Kawin dengan Keris: Pelanggaran UU Perkawinan
Rabu, 19 Januari 2022, 08:50 WITA Follow
image

Beritadenpasar.com

IKUTI BERITADENPASAR.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITADENPASAR.COM, DENPASAR.

Saya merasa perlu menulis narasi ini agar pikiran saya dapat ditangkap secara utuh oleh publik dan para pihak yang terkait. Motifnya adalah pencerahan di satu sisi dan kritik konstruktif di sisi yang lain.

Problem sangat serius kasus perkawinan dengan keris di Blahbatuh Gianyar ini adalah fakta bahwa ada seorang perempuan yang sedang hamil diabaikan seorang lelaki. Perempuan ini mengalami goncangan mental, fisik dan batin luar biasa serta masa depan bayinya yang tak jelas. 

Ini yang mengiris empati terdalam saya paling utama. Kawin dengan keris merupakan pelanggaran terhadap UU Perkawinan. Ini akan memunculkan masalah administrasi kependudukan berikutnya bagi gadis itu dan anaknya kelak. Saya yakin jika Kadus, Bendesa dan Perbekel paham hukum, akan sampai pada penilaian bahwa secara hukum negara "tak pernah ada perkawinan".

Kegelisahan saya adalah kenapa aparat di level bawah dan para pihak yang punya otoritas (bendesa, MDA, PHDI, perbekel) seperti normal-normal saja, santai saja, merespons peristiwa "kemanusiaan yang mengiris nurani" begini. Bukankah pola semacam ini amat mungkin terulang di masa depan? 

Siapa sangka akan menimpa salah satu anak dari pembaca? Baru kita ngeh kemudian? Eksekusinya adalah dalam kasus ini, bendesa, perbekel difasilitasi camat dan MDA mencari jalan keluar dan mengkomunikasikan ke kedua belah pihak keluarga. 

Nasib jabang bayi itu yang mesti dipertanggung jawabkan. Jika tidak ada jalan keluar, secara hukum negara, perkawinan itu tidak legal dan gadis itu beserta anaknya kelak akan terus mengalami masalah administrasi kependudukan (kecuali pejabat berwenang tutup mata mengabaikan fakta hukum yang ada seperti surat keterangan PHDI, Bendesa, Perbekel sebagai kelengkapan akta perkawinan).

Eksekusi jangka panjang adalah, Majelis Desa Adat dan PHDI Bali punya "pekerjaan rumah" untuk merumuskan regulasi adat berkaitan dengan masalah ini. Solusi konsep "pade gelahang" mesti disosialisasikan meluas ke bawah dengan petunjuk teknisnya.

Sebaiknya juga dibuat aturan soal dokumen perjanjian tertulis memperkuat implementasi "nyentana" dan "pade gelahang" agar tak menimbulkan masalah di kemudian hari. Para bendesa dan kelian tempek ke depan agar lebih proaktif dan sigap melihat perkembangan kramanya di lapangan. 

Mesti dikomunikasikan dan dicegah kasus-kasus serupa ini muncul ke depan. Jika tidak, secara tak langsung, kita ikut menanam saham atas "status perkawinan ilegal dari sisi hukum negara, serta masa depan jabang bayi tersebut." 

Atas dasar otoritas dan kewenangan yang dimiliki, bendesa jangan ragu bertindak. Pada sisi inilah kompetensi kepemimpinan adat diperlukan: mencegah munculnya kasus adat.

Demikian semoga pikiran yang baik datang dari segala arah. Semoga keluarga lelaki tergerak dan bisa mencari jalan keluar demi masa depan si jabang bayi. Swaha!

Editor: Robby Patria

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritadenpasar.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Denpasar.
Ikuti kami