search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kasus Penipuan Jual Beli Tanah, Terdakwa Dituntut 3 Tahun
Rabu, 14 Juli 2021, 14:35 WITA Follow
image

beritabali/ist/Sidang kasus penipuan jual beli tanah secara online.

IKUTI BERITADENPASAR.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITADENPASAR.COM, DENPASAR.

Diduga melakukan tindak pidana penipuan jual beli tanah kavling, terdakwa I Wayan Ridartayasa oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang yang digelar secara online dituntut hukuman tiga tahun penjara.

Pengajuan hukuman dari Jaksa itu, mempertimbangkan korbannya yang berjumlah 4 orang merasa dirugikan hingga ratusan juta rupiah. Dalam perkara ini, terdakwa dijerat Pasal 378 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. 

"Memohon kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara ini untuk menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun," sebut jaksa Purwanti Murtiasih,SH di muka sidang pimpinan Hakim Angeliky Handajani Day, SH.,MH.

Atas tuntutan tiga tahun penjara, terdakwa justru masih merasa tinggi dan tidak terima. Melalui kuasa hukumnya, ia memohon waktu untuk mengajukan pembelaan pada sidang berikutnya.

Sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan, kasus penipuan yang dilakukan oleh terdakwa ini berawal dari terdakwa memasang plang di atas tanah kosong yang berlokasi di Mambal, Badung pada tahun 2014 silam. 

Kemudian para pembeli (korban) menghubungi nomor telpon yang tertera di plang tersebut yang ternyata milik terdakwa. Setelah terjadi komunikasi, para korban bertemu dengan terdakwa dan mulai membicarakan soal harga jual per kavlingnya. 

“Harga tanah rata-rata untuk tiap kavlingnya mencapai Rp200 juta dan ada juga yang Rp300 juta,“ terang jaksa Purwanti. 

Setelah terjadi kesepakatan harga, para pembeli atau korban ini kemudian bersama terdakwa membuat perjanjian di bawah tangan yang disaksikan oleh seorang notaris. Perjanjian itu menurut jaksa hanya berisikan soal pembayaran DP saja. 

Setelah pembayaran DP, terdakwa berjanji akan membuatkan sertifikat (memecah sertifikat) menjadi atas nama para korban. Namun setelah menunggu sekian lama, sertifikat yang dijanjikan oleh terdakwa tidak juga jadi. 

“Saya sudah beberapa kali menghubungi terdakwa menanyakan apakah sertifikat sudah jadi atau belum, tapi selalu dijawab masih dalam proses,” sebut salah satu saksi korban tertuang dalam dakwaan.

Karena tidak pernah ada jawaban pasti, korban mendatangi notaris tempat saat mereka membuat perjanjian atau akta dibawah tangan. Ternyata, dari pihak notaris tidak bisa memproses pembuatan sertifikat karena terdakwa belum atau tidak melakukan pembayaran.

Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata tanah yang ditawarkan oleh terdakwa bukanlah milik terdakwa tapi milik Made Ratna. Dari pengakuan Made Ratna inilah kemudian diketahui bahwa terdakwa memang ingin membeli tanahnya namun belum dibayar lunas.

Editor: Robby Patria

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritadenpasar.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Denpasar.
Ikuti kami