search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
PPKM Darurat, Kebijakan Gubernur Soal Arak Plus Kopi Disoroti
Kamis, 15 Juli 2021, 15:50 WITA Follow
image

beritabali/ist/Kebijakan Gubernur Koster disoroti.

IKUTI BERITADENPASAR.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITADENPASAR.COM, DENPASAR.

Kualitas komunikasi publik Gubernur Bali Wayan Koster dinilai relatif kurang terampil. Hal ini terlihat dari sejumlah blunder komunikasi publik yang dilakukan Gubernur Koster beberapa akhir ini terkait kebijakan penanganan pandemi.  

I Gusti Putu Artha, mantan Komisioner KPU RI yang kini masih menjabat selaku Ketua Komisi Saksi NasDem Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem menyoroti perihal tersebut. Ia juga menyarankan sejumlah hal kepada Gubernur Koster diantaranya;  

Untuk kebijakan komunikasi publik, ia menyarakankan kebijakan teknis diserahkan kepada Sekda. Gubernur baru bicara jika menyangkut kebijakan strategis. 

"Jika urusan kebijakan teknis mengatasi pandemi Covid-19 seperti implementasi PPKM Darurat dan lain-lain, cukup sekda," katanya. 

Menurutnya, jika urusan kebijakan alokasi anggaran APBD untuk mengatasi pandemi barulah level gubernur. Kelak jika ada blunder atas kebijakan teknis itu, masih ada "bumper" wagub, dan gubernur yang meluruskan. 

"Tapi jika gubernur salah, selesai urusan. Citra gubernur yang jatuh bangun," sebutnya.

Berikutnya, Gubernur saat berkomunikasi mesti sadar aspek psikososial dan komunikasi digital. Maksudnya, kata dia, secara psiko sosial, konten informasi itu akan mempengaruhi aspek psikologis dan sosiologis seluruh rakyat Bali. Bukan hanya audiens saat gubernur berkomunikasi tatap muka. Suasana psikologis dan sosiologis rakyat mesti jadi kalkulasi. 

"Contoh kopi campur arak misalnya. Secara sosiologis, rakyat Bali butuh informasi kebijakan gubernur yang bisa menjalankan PPKM di satu sisi, tapi tidak membatasi pergerakan ekonomi rakyat kecil," tandasnya. 

Rakyat butuh informasi mungkin ada bantuan sosial dan sejenisnya. Sedangkan yang muncul malah, sebutnya dagelan arak dan kopi yang dinilai sangat tidak elok. 

"Sekalipun arak minuman khas Bali namun karena ia beralkohol selevel gubernur tak proporsional menyampaikan informasi itu. Persepsi komunikasi yang terbentuk: gubernur "ngajain memunyah," katanya. 

Secara psikologis, rakyat kelaparan. Mereka butuh sembako, bebas biaya pendidikan, potongan tarif listrik, bebas pajak kendaraan,  bukan arak. 

Dari aspek komunikasi digital, informasi luring yang terbatas orang itu, harus disadari selalu akan sampai ke 4 juta rakyat Bali karena efek komunikasi digital. 

"Betul hanya berempat dengam Forkompimda berfoto tapi foto akan meledak ke seluruh Bali. Dan Koster tak pakai masker, "dibully" rakyat lagi. Sadar kamera penting betul," sebutnya.

Gubernur juga mestinya sadar bahasa. Dijelaskan dalam konteks bahasa Bali, kluster rakyat Bali terdiri atas berbagai stratifikasi sosial yang secara kultural memiliki tradisi berbahasa sesuai jenjangnya. Suasana kebatinan ini jadi perhatian. "Ngomong "nasbedag" di Buleleng tidak masalah. Tapi, bicara "nasbedag" dengan audience warga Karangasem, secara psikokomunikasi tentu menjadi persoalan," katanya. 

Ia mengusulkan pemilihan diksi kata seorang Gubernur pun harus selektif. Walau dirinya tahu gubernur dari Buleleng, tidak harus diksi Buleleng dipakai di mana-mana karena rakyat Bali sangat beragam. Ia mengingatkan agar menghindari diksi yang berkonotasi kasar, negatif, konyol dan tidak edukatif. 

Gubernur juga, menurutnya, mesti sadar gestur. Suka tak suka, posisi sekarang adalah "manggala rakyat Bali" dengan 4 juta rakyat Bali yang beragam sebagai "audience"-nya. Gestur (mimik, gerak tubuh, intonasi kata, ekspresi) tetap harus terkelola dengan baik. Bicara di hadapan para sulinggih dan pemangku, gestur tentu harus berbeda dengan kaum muda.

Kebutuhan citra gubernur berwibawa, disegani, dituruti perintahnya amat penting dalam pandemi ini agar seluruh kebijakan pusat dan daerah tak ditanggai sinis, dan "meboya" oleh rakyat Bali hanya karena citra gubernur yang tidak dapat membangun kepercayaan dan wibawa. 

"Sikap "perlawanan rakyat" atas kebijakan  PPKM darurat ini salah satunya karena kepemimpinan satu komando yang kurang dipercaya dan kurang berwibawa," tandasnya.

Editor: Robby Patria

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritadenpasar.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Denpasar.
Ikuti kami